thi 2017 ~ kesenian

Videos

  • kesenian di indonesia

    seni tari yang di akui unesco di bali

  • tari saman

    tari yang mengandung unsur agama

  • gamelan jawa

    gamelan jawa adalah alat musik pengiring dalam sebuah seni

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 23 Maret 2017

Tari jaipong



Jaipongan adalah sebuah jenis tari pergaulan tradisional masyarakat Sunda, Karawang,Jawa Barat, yang sangat populer di Indonesia.

Sejarah

Jaipongan terlahir melalui proses kreatif dari tangan dingin H Suanda sekitar tahun 1976 di Karawang, jaipongan merupakan garapan yang menggabungkan beberapa elemen seni tradisi karawang seperti pencak silat, wayang golek, topeng banjet, ketuk tilu dan lain-lain. Jaipongan di karawang pesat pertumbuhannya di mulai tahun 1976, di tandai dengan munculnya rekaman jaipongan SUANDA GROUP dengan instrument sederhana yang terdiri dari gendang, ketuk, kecrek, goong, rebab dan sinden atau juru kawih. Dengan media kaset rekaman tanpa label tersebut (indie label) jaipongan mulai didistribusikan secara swadaya oleh H Suanda di wilayah karawang dan sekitarnya. Tak disangka Jaipongan mendapat sambutan hangat, selanjutnya jaipongan menjadi sarana hiburan masyarakat karawang dan mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari segenap masyarakat karawang dan menjadi fenomena baru dalam ruang seni budaya karawang, khususnya seni pertunjukan hiburan rakyat. Posisi Jaipongan pada saat itu menjadi seni pertunjukan hiburan alternative dari seni tradisi yang sudah tumbuh dan berkembang lebih dulu di karawang seperti penca silat, topeng banjet, ketuk tilu, tarling dan wayang golek. Keberadaan jaipong memberikan warna dan corak yang baru dan berbeda dalam bentuk pengkemasannya, mulai dari penataan pada komposisi musikalnya hingga dalam bentuk komposisi tariannya.
Mungkin di antara kita hanya tahu asal tari jaipong dari Bandung ataupun malah belum mengetahui dari mana asalnya. Dikutip dari ucapan kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ( Disbudpar ) Karawang, Acep Jamhuri “Jaipong itu asli Karawang. Lahir sejak tahun 1979 yang berasal dari tepak Topeng. Kemudian dibawa ke Bandung oleh seniman di sana, Gugum Gumilar. Akhirnya dikemas dengan membuat rekaman. Seniman-seniman Karawang dibawa bersama Suwanda. Ketika sukses, yang bagus malah Bandung. Karawang hanya dikenal gendangnya atau nayaga (pemain musik). Makanya sekarang kami di Disbudpar akan mencoba menggali kembali seni tari Jaipong bahwa ini seni yang sesungguhnya berasal dari Karawang”. Tari ini dibawa ke kota Bandung oleh Gugum Gumbira, sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk mengembangkan tarian asal karawang dikota bandung yang menciptakan suatu jenis musik dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat Nusantara, khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang relatif baru, jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah berkembang sebelumnya, seperti Ketuk Tilu, Kliningan, serta Ronggeng. Perhatian Gumbira pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian menjadi inspirasi untuk mengembangkan kesenian jaipongan.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi terbentuknya tari pergaulan ini. Di kawasan perkotaan Priangan misalnya, pada masyarakat elite, tari pergaulan dipengaruhi dansa Ball Room dari Barat. Sementara pada kesenian rakyat, tari pergaulan dipengaruhi tradisi lokal. Pertunjukan tari-tari pergaulan tradisional tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara bergaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Tarian ini mulai dikenal luas sejak 1970-an. Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.

Perkembangan


Jaipongan Mojang Priangan
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, ulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apa lagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tetapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak memengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni.

Sumber: Wikipedia
Share:

tari gandrung

Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen.[1]. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan).[butuh rujukan]Gandrung merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali.[butuh rujukan] Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"[2]
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.
Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).

Sejarah

Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabadnya hutan “Tirtagondo” (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit yang dilantik sebagai bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang Demikian antara lain yang diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu.
Mengenai asalnya kesenian gandrung Joh Scholte dalam makalahnya antara lain menulis sebagai berikut: Asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang dan sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka membawanya di dalam sebuah kantong. (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab “Gandrung Lelaki”).
Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda dengan cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun, bahwa gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana (terbang). Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Balambangan sebelah timur (dewasa ini meliputi Kab. Banyuwangi) yang jumlahnya konon tinggal sekitar lima ribu jiwa, akibat peperangan yaitu penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Mataram dan Madura pada tahun 1767 untuk merebut Balambangan dari kekuasaan Mangwi, hingga berakirnya perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dimenangkan oleh Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772. Konon jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri, tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau di selong (di buang) oleh Kompeni lebih dari enam puluh ribu jiwa. Sedang sisanya yang tinggal sekitar lima ribu jiwa hidup telantar dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang belindung di hutan-hutan, terdiri dari para orang tua, para janda serta anak-anak yang tak lagi punya orang tua.(telah yatim piyatu) dan selain itu ada juga yang melarikan diri menyingkir ke negeri lain. Seperti ke Bali, Mataram, Madura dan lain sebagainya.
Setelah usai pertunjukan gandrung menerima semacam imbalan dari penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi lainnya dan sebagainya. Dan sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut, merupakan sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada mereka yang keadaannya sangat memprihatinkan dipengungsian dan sangat memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup dihutan-hutan dengan segala penderitaannya walau peperang telah usai.
Mengenai mereka yang bersikeras hidup di hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan tersebut, disinggung oleh C. Lekerkerker yang menulis beberapa kejadian setelah Bayu dapat dihancurkan oleh gempuran Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772, antara lain sebagai berikut; Pada tanggal 7 Nopember 1772, sebanyak 2505 orang lelaki dan perempuan telah menyerahkan diri ke Kompeni, Van Wikkerman mengatakan bahwa Schophoff telah menyuruh menenggelamkan tawanan laki-laki yang dituduh mengobarkan amuk dan yang telah memakan dagingnya dari mayatnya Van Schaar. Juga dikatakan bahwa orang-orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri kedalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang dialami mereka. Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat yang membusuk sampai jarak yang jauh. Yang lainnya menetap dihutan-hutan seperti; Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan sebagainya. Dan mereka bersikap keras tetap tinggal dalam hutan dengan segala penderitaannya[3].
Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuang dan yang setiap saat acap kali mengadakan pagelaran dengan mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat yang hidup bercerai-berai di pedesaan, di pedalaman dan bahkan sampai yang masih menetap di hutan-hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan, kemudian mereka mau kembali kekampung halamannya semula untuk memulai membentuk kehidupan baru atau sebagaian dari mereka ikut membabat hutan Tirta Arum yang kemudian tinggal di ibukota yang baru di bangun atas prakarsa Mas Alit. Setelah selesai ibu kota yang baru dibangun dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang dibabad (Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan Kompeni (yaitu yang dewasa ini meliputi Daerah Kabupaten Banyuwangi).
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.
Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.[4]
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.

Tata Busana Penari


Penari Gandrung di Lombok, 1922.
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak.

Bagian Tubuh

Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

Bagian Kepala

Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.

Bagian Bawah

Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

Lain-lain

Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.

Musik Pengiring

Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjak atau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung. Peran panjak dapat diambil oleh pemain kluncing.
Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi electone.

Tahapan-Tahapan Pertunjukan


Mahasiswi UNS menari tarian jejer
Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian:
  • jejer
  • maju atau ngibing
  • seblang subuh

Jejer

Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.

Maju

Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.
Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repèn (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.

Seblang subuh

Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual seblang, suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan (meski sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup satu pertunjukan pentas gandrung.

Perkembangan terakhir

Kesenian gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran arus globalisasi, yang dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun bahkan mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi. Salah satu di antaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang merupakan sempalan dari pertunjukan gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah satu wujud perhatian pemerintah setempat terhadap seni budaya lokal yang sebenarnya sudah mulai terdesak oleh pentas-pentas populer lain seperti dangdut dan campursari.
Sejak tahun 2000, antusiasme seniman-budayawan Dewan Kesenian Blambangan meningkat. Gandrung, dalam pandangan kelompok ini adalah kesenian yang mengandung nilai-nilai historis komunitas Using yang terus-menerus tertekan secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain, Gandrung adalah bentuk perlawanan kebudayaan daerah masyarakat Using.[5]
Di sisi lain, penari gandrung tidak pernah lepas dari prasangka atau citra negatif di tengah masyarakat luas. Beberapa kelompok sosial tertentu, terutama kaum santri menilai bahwa penari Gandrung adalah perempuan yang berprofesi amat negatif dan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas, tersudut, terpinggirkan dan bahkan terdiskriminasi dalam kehidupan sehari-hari[6].
Sejak Desember 200, Tari Gandrung resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi yang disusul pematungan gandrung terpajang di berbagai sudut kota dan desa. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat seperti Surabaya , Jakarta , Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat

sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi
Share:

tari reog ponorogo

Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal usul Reog dan Warok [1], namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Tiongkok, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya [2]. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.[3]
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Pementasan Seni Reog


Reog Ponorogo
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang atau jathilan, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping.
Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu yang disebut Bujang Ganong atau Ganongan.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

Tokoh-tokoh dalam seni Reog

Jathil


Jathilan (depan)
Jathil adalah prajurit berkuda dan merupakan salah satu tokoh dalam seni Reog. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan oleh penari di mana antara penari yang satu dengan yang lainnya saling berpasangan. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan dengan ekspresi atau greget sang penari.[4]
Jathilan ini pada mulanya ditarikan oleh laki-laki yang halus, berparas ganteng atau mirip dengan wanita yang cantik. Gerak tarinya pun lebih cenderung feminin. Sejak tahun 1980-an ketika tim kesenian Reog Ponorogo hendak dikirim ke Jakarta untuk pembukaan PRJ (Pekan Raya Jakarta), penari jathilan diganti oleh para penari putri dengan alasan lebih feminin. Ciri-ciri kesan gerak tari Jathilan pada kesenian Reog Ponorogo lebih cenderung
pada halus, lincah, genit. Hal ini didukung oleh pola ritmis gerak tari yang silih berganti antara irama mlaku (lugu) dan irama ngracik.[5]

Warok


sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Reog_(Ponorogo)
Share:

tari yospan

Tari Yospan adalah jenis tarian Kontemporer yang menggambarkan pergaulan atau persahabatan pada kaum muda-mudi Biak Numfor.[1]Tarian ini muncul pada tahun 1960 yang kemudian sempat menjadi bagian dari senam kesehatan jasmani (SKJ) disejumlah instansi pemerintahan.[2]Yospan adalah bentuk akronim dari kata Yosim Pancar.[3]

Daftar isi

Asal-Usul

Ukulele1
Tari Yospan adalah tarian dari penggabungan dua tarian rakyat papua yaitu Yosim dan Pancar.[2]Tari Yosim berasal dari wilayah teluk Sairei(Serul, Waropen).[4]Gerak tarian ini mirip poleneis (dansa asal Eropa) namun dalam tarian Yosim lebih mengutamakan kebebasan dalam mengekspresikan gerakan dan mengandalkan kelincahan gerak tari.[4]Sedangkan Tari Pancar berasal dari daerah yang berbeda yaitu daerah Biak, Numfor dan Manokwari.[2]Tarian ini lebih kaku karena dalam gerakannya mengikuti irama Tifa,Ukulele,Gitar dan sebagainya.[4]

Gerakan

COLLECTIE TROPENMUSEUM Enkelvellige bekervormige trom TMnr 18-18
Gerakan tarian ini terinspirasi saat pesawat-pesawat bermesin jet mulai mendaratkan rodanya di Biak sekitar 1960 an saat terjadi konflik antara Kerajaan Belanda dengan Pemerintah Indonesia.[1]Pada waktu itu, banyak pesawat-pesawat tempur MiG buatan Rusia yang dipacu oleh pilot-pilot Indonesia terbang di atas langit Biak tepatnya di atas Bandara Frans Kaisiepo sambil melakukan gerakan-gerakan aerobatik[4]Gerak tarian ini yaitu gerakan dasar yang penuh semangat, dinamik, dan menarik.[3]Gerakannya dilakukan dengan cara berjalan sambil menari berkeliling lingkaran di iringi oleh musisi yang menyanyikan lagu asal daerah Papua.[5]Gerakan yang terkenal dalam tarian ini adalah pancar gas yang merupakan representasi dari pesawat-pesawat yang melintas dan meninggalkan awan putih di langit,gale-gale, jef,pacul tiga,seka dan sebagainya.[3][6]

Penari

Para penari di dalam tarian ini terdiri dari dua regu yaitu Regu Musisi dan Regu Penari.[5]Regu musisi memainkan Tifa yang menjadi pengiring Regu penari yang jumlahnya terdiri dari 6 orang atau lebih.[2]Tidak ada batasan baik dari segi jumlah penari maupun Gender, semua orang baik laki-laki,perempuan,tua ataupun muda boleh menarikan tarian ini.[5]

Alat Musik

Alat musik yang digunakan selain Tifa, Gitar dan Ukulele, masih ada alat musik lain yang digunakan.[7]Ada alat musik yang berfungsi sebagai bas dengan tiga tali.[7] Talinya biasa dibuat dari lintingan serat sejenis daun pandan yang banyak ditemui di hutan-hutan daerah pesisir Papua.[7]Selain itu ada alat musik yang disebut Kalabasa.[7] Alat ini terbuat dari labu yang dikeringkan kemudian diisi dengan manik atau batu kecil.[7]Cara memainkan alat musik ini hanya dengan di goyang-goyangkan.

sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Yospan
Share:

tari topeng

Tari Topeng adalah tarian yang penarinya mengenakan topeng. Topeng telah ada di dunia sejak zaman pra-sejarah. Secara luas digunakan dalam tari yang menjadi bagian dari upacara adat atau penceritaan kembali cerita-cerita kuno dari para leluhur. Diyakini bahwa topeng berkaitan erat dengan roh-roh leluhur yang dianggap sebagai interpretasi dewa-dewa. Pada beberapa suku, topeng masih menghiasi berbagai kegiatan seni dan adat sehari-hari.
Cerita klasik Ramayana dan cerita Panji yang berkembang sejak ratusan tahun lalu menjadi inspirasi utama dalam penciptaan topeng di Jawa. Topeng-topeng di Jawa dibuat untuk pementasan sendratari yang menceritakan kisah-kisah klasik tersebut.
Tari Topeng dapat merujuk kepada beberapa bentuk kesenian:

Daftar isi

Macam Tari Topeng

Topeng Dayak

Di daerah Pulau Kalimantan, suku Dayak menggunakan topeng dalam Tari Hudog yang sering dimainkan dalam upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari ini dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak. Topeng yang digunakan berwarna hitam, putih, dan merah yang melambangkan kekuatan alam yang akan membawa air dan melindungi tanaman yang mereka tanam hingga musim.

Topeng Bali

Keberadaan topeng dalam masyarakat Bali berkaitan erat dengan upacara keagamaan Hindu, karena kesenian luluh dalam agama dan masyarakat. Tari Topeng Bali adalah sebuah tradisi yang kental dengan nuansa ritual magis, umumnya yang ditampilkan di tengah masyarakat adalah seni yang disakralkan. Tuah dari topeng yang merepresentasikan dewa-dewa dipercaya mampu menganugrahkan ketenteraman dan keselamatan.

Topeng Cirebon

Tari Topeng Cirebon adalah kesenian tari topeng yang berkembang di Cirebon, Jawa Barat.

Topeng Malang

Topeng Malang adalah kesenian tari topeng dari daerah Malang, Jawa Timur. Kisah yang dibawakan biasanya berasal dari kisah Panji yang menceritakan kisah asmara Raden Panji Asmoro Bangun (Inu Kertapati) dengan Putri Sekartaji (Chandra Kirana).
sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Topeng
Share:

tari tor-tor

Tortor adalah tarian seremonial yang disajikan dengan musik gondang. Secara fisik tortor merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, di mana melalui gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara.
Tortor dan musik gondang ibarat koin yang tidak bisa dipisahkan. Sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (Hasuhutan) melakukan acara khusus yang dinamakan Tua ni Gondang, sehingga berkat dari gondang sabangunan.
Dalam pelaksanaan tarian tersebut salah seorang dari hasuhutan (yang mempunyai hajat akan memintak permintaan kepada penabuh gondang dengan kata-kata yang sopan dan santun sebagai berikut : "Amang pardoal pargonci" :
  1. "Alualuhon ma jolo tu ompungta Debata Mulajadi Nabolon, na Jumadihon nasa na adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion."
  2. "Alualuhon ma muse tu sumangot ni ompungta sijolojolo tubu, sumangot ni ompungta paisada, ompungta paidua, sahat tu papituhon."
  3. '"Alualuhon ma jolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo."
Setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah permintaan/seruan tersebut dilaksanakan dengan baik maka barisan keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan tempat berdirinya untuk memulai menari.
Adapun jenis permintaan jenis lagu yang akan dibunyikan adalah seperti : Permohonan kepada Dewa dan pada ro-roh leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan acara diberi keselamatan kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah ruah, dan upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh keluarga, serta para undangan.
Setiap penari tortor harus memakai ulos dan mempergunakan alat musik/gondang (Uninguningan).
Ada banyak pantangan yang tidak diperbolehkan saat manortor, seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas, bila itu dilakukan berarti si penari sudah siap menantang siapa pun dalam bidang ilmu perdukunan, atau adu pencak silat (moncak), atau adu tenaga batin dan lain-lain.
sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Tortor











Share:

tari sekapur sirih

Tari Sekapur Sirih merupakan tarian selamat datang kepada tamu-tamu besar di Provinsi Jambi dan Riau.dan juga terkenal di malaysia sebagai tarian wajib kepada tamu besar
Keagungan dalam gerak yang lembut dan halus menyatu dengan iringan musik serta syair yang ditujukan bagi para tamu. Menyambut dengan hati yang putih muka yang jernih menunjukkan keramahtamahan bagi tetamu yang dihormati.
Tari ini menggambarkan ungkapan rasa putih hati masyarakat dalam menyambut tamu. Sekapur Sirih biasanya ditarikan oleh 9 orang penari perempuan, dan 3 orang penari laki-laki, 1 orang yang bertugas membawa payung dan 2 orang pengawal. Propetri yang digunakan: cerano/wadah yang berisikan lembaran daun sirih, payung, keris. Pakaian: baju kurung /adat Jambi, iringan musik langgam melayu dengan alat musik yang terdiri dari : biola, gambus, akordion, rebana, gong dan gendang.

sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Sekapur_Sirih
Share:

tari lenso

Sebutan Tari Lenso

Sebutan lenso diberikan oleh masyarakat Sulawesi Utara karena properti utama tarian ini yakni lenso atau dalam bahasa indonesia bermakna sapu tangan.

pertunjukan-tari-lenso

Tari lenso termasuk jenis tari pergaulan yang memiliki manfaat serta fungsi beraneka ragam. Masyarakat Sulawesi Utara sendiri khususnya di daerah Maluku dan Minahasa kerap menyelenggarakan pertunjukan tarian khas tersebut dalam berbagai macam kesempatan. Adapun momen yang paling banyak dipergunakan sebagai pertunjukan tari lenso antara lain sebagai berikut:

  • Pesta pernikahan | baik sebagai sambutan bagi para undangan maupun sebagai syukuran. 
  • Perayaan tahun baru | Sebagai ajang menyambut datangnya tahun baru dimana biasanya para remaja berkumpul dan bersuka cita.
  • Pesta ulang tahun | sebagaian masyarakat dalam ekonomi menengah ke atas juga kerap menyelenggarakan pentas tari lenso dalam acara peringatan hari ulang tahun.
  • Panen raya | sebagaimana yang kita kenal, komoditas andalan daerah Sulawesi Utara yakni cengkeh, dalam 
Dalam berbagai kesempatan, tarian tradisional dari daerah Maluku dan Minahasa ini terkadang juga dipergunakan dalam ajang perjodohan. Tarian yang dilakukan secara berkelompok tersebut rupanya memiliki daya tarik tersendiri bagi para jommblowan maupun jomblowati dimana seseorang yang mengikuti tarian tersebut berhak menyatakan cintanya pada lawan jenis yang ada dalam pertunjukan tersebut dengan cara menyerahkan sapu tangan kepada orang yang dimaksud.

Sementara ikatan atau hubungan dapat diketahui jika lenso atau sapu tangan yang diberikan oleh penari diterima maka ungkapan cinta tersebut juga diterima, namun jika sapu tangan yang diberikan dibuang oleh penerima maka cinta sang penari ditolak.

Bagaimana menarik bukan acara tersebut? Suatu ajang yang cukup menantang bagi para remaja yang tengah mencari jodoh. Semoga dengan adanya uraian singkat tari lenso beserta penjelasannya tersebut dapat meningkatkan kita terhadap kesenian daerah.

sumber:http://www.senitari.com/2015/10/tari-lenso-beserta-penjelasannya.html
Share:

tari bidu

Tarian tradisional satu ini dulunya digunakan sebagai media mencari jodoh oleh masyarakat di daerah Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Namanya adalah Tari Bidu.
Apakah Tari Bidu itu?

Tari Bidu adalah salah satu tarian tradisional dari daerah Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini biasanya ditampilkan oleh beberapa penari pria dan penari wanita berbusana adat dan menari dengan gerakan yang sangat khas. Tari Bidu merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di masyarakat Belu. Konon, Tarian ini dulunya digunakan oleh masyarakat di sana sebagai media pencarian jodoh bagi para pemuda dan pemudi.
Sejarah Tari Bidu
Tari Bidu merupakan tarian tradisional yang berasal dari tradisi adat masyarakat Belu yang sudah diwariskan secara turun temurun. Tarian ini dulunya digunakan masyarakat di sana sebagai media bagi para pemuda dan pemudi, khususnya bagi para remaja yang sudah direstui orang tua mereka atau sudah siap dinikahkan untuk saling mengenal dan memilih jodoh yang mereka inginkan.
Dalam tradisi masyarakat Belu ada beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh para pemuda dan pemudi sebelum melakukan pernikahan. Pertama, bagi para pemuda dan pemudi yang sudah siap harus melakukan perjanjian dan perencanaan terlebih dahulu, yang disebut dengan Hameno Bidu. Kemudian para pemuda dan pemudi tersebut bertemu di tempat yang sudah ditentukan dan melakukan Tari Bidu dengan disaksikan oleh para warga setempat termasuk orang tua mereka.
Dalam tarian tersebut para pemuda menari satu persatu sambil memilih wanita yang disukainya. Setelah menemukan wanita idamannya, pemuda tersebut kemudian menandai wanita yang dipilihnya. Setelah mereka sama-sama setuju kemudian dilanjutkan dengan proses berikutnya yaitu Hanimak. Hanimak sendiri merupakan suatu proses pengenalan secara etis, romantis dan berbobot yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita atas ijin orang tua mereka.
Setelah menemukan kecocokan, biasanya mereka akan melakukan Binor, yaitu suatu proses saling bertukar dan menyimpan barang masing-masing seperti tempat sirih, kain, pakaian dan lain-lain. setelah tahap tersebut dilalui kemudian kedua belah pihak saling bertemu dan merencanakan prosesi peminangan. Dalam peminangan tersebut biasanya peminang membawa barang yang disebut dengan Mama Lulik. Kemudian dilanjutkan dengan Mama Tebes, yaitu tahap membicarakan dan merencanakan acara pernikahan mereka.

Fungsi Dan Makna Tari Bidu
Seperti yang dikatakan sebelumnya, Tari Bidu merupakan tarian tradisional yang sering dijadikan sebagai media para pemuda dan pemudi untuk saling mengenal dan memilih jodoh mereka. Dalam tarian tersebut para penari pria dan wanita menari dengan gerakan masing-masing yang menggambarkan pesona yang mereka miliki. Sehingga saat menentukan pilihan jodoh mereka bisa tahu mana yang sesuai dengan keinginan mereka.

Pertunjukan Tari Bidu
Tari Bidu biasanya ditampilkan oleh beberapa penari wanita dan penari pria. Jumlah penari biasanya terdiri dari 8 atau lebih penari wanita dan 1-2 penari pria. Dalam pertunjukannya biasanya diawali dengan pari berbaris sambil menari memasuki arena. Kemudian beberapa penari wanita menyuguhkan sirih dan pinang yang mereka bawa kepada menonton yang dianggap terhormat. Setelah itu kemudian mereka kembali menari.
Dalam Tari Bidu biasanya gerakan penari pria dan wanita berbeda. Gerakan penari wanita biasanya didominasi dengan gerakan tangan yang lemah lembut dan gerakan kaki jalan ditempat. Dalam gerakan Tari Bidu biasanya juga terdapat gerakan menenun yang dilakukan oleh penari wanita. gerakan-gerakan tersebut dikemas menjadi gerakan yang lemah lembut yang menggambarkan keanggunan seorang wanita.
Sedangkan Penari pria biasanya menari dengan gerakannya yang khas sambil mengelilingi penari wanita. Hal ini menggambarkan penari pria saat memilih wanita yang mereka inginkan. Gerakan penari pria biasanya didominasi dengan gerakan tangan yang direntangkan sambil melakukan gerakan memutar badan.

sumber:http://www.negerikuindonesia.com/2015/10/tari-bidu-tarian-tradisional-dari-belu.html
Share:

tari barong bali

Barong bali dipercaya sebagai metamorfosis dari barong ponorogo atau Reog, oleh raja Airlangga saat mengungsi ke pulau Bali untuk menyelamatkan diri. selain barong ponorogo yang dibawa ke bali, melainkan juga seperti seni sastra, aksara jawa, serta keagamaan.
Dalam perkembangannya barong ponorogo di rubah bentuk dan cerita sesuai kondisi masyarakat di bali yang diperuntukan untuk kegiatan spiritual keagamaan.
Pengaruh yang di dapat pada barong Bali bisa di lihat pada bentuk barong ponorogo saat tampil tanpa mahkota merak (Kucingan) dan pada Topeng Rangda yang mendapat pengaruh dari topeng bujang ganong. Serta kelompok orang orang yang mendalami ilmu kesaktian pada orang tua yang mendapat pengaruh pada perilaku kegiatan nyata warok muda dan warok tua yang sakti mandraguna yang saat ini masih terjaga di Ponorogo, meskipun kegiatan tersebut saat ini tertutup untuk kalangan tertentu.
Dengan begitu, muncul jenis barong bali dengan berbagai kepala hewan seperti Babi, Gajah, Anjing dan Burung yang menjadi kebanggaan tiap-tiap kota di bali.

Mitos

Barong Bali
Barong Bali sedang menggaruk seperti kucing
Masyarakat Bali[2] percaya bahwa mahluk-mahluk halus tersebut adalah kaki tangan Ratu Gede Mecaling, penguasa alam gaib di Lautan Selatan Bali yang berstana di Pura Dalem Ped, Nusa Penida. Saat itu, seorang pendeta sakti menyarankan masyarakat untuk membuat patung yang mirip Ratu Gede Mecaling, yang sosoknya tinggi besar, hitam dan bertaring, lalu mengaraknya keliling desa. Rupanya, tipuan ini manjur. Para mahluk halus ketakutan melihat bentuk tiruan bos mereka, lalu menyingkir. Hingga kini, di banyak desa, secara berkala masyarakat mengarak Barong Landung untuk menangkal bencana.

Jenis Barong Bali

Barong Ket atau Barong Keket

adalah barong yang sosoknya menjulang tinggi. Sosoknya menyerupai manusia dengan tinggi dua kali tinggi badan orang dewasa. Sosok laki-laki dinamakan Jero Gede, sedangkan pasangannya disebut Jero Luh. Konon, barong jenis dibuat untuk mengelabui mahluk-mahluk halus yang menebar bencana. Barong Ket adalah tari Barong yang paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan. Barong ini juga memiliki pebendaharaan gerak tari yang paling lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket merupakan perpaduan bentuk antara singa, macan,sapi dan naga. Badan Barong Ket dihiasi dengan kulit berukiran rumit dan ratusan kaca cermin berukuran kecil. Kaca-kaca cermin itu bagai permata dan tampak berkilauan ketika tertimpa cahaya. Bulu Barong Ket terbuat dari kombinasi perasok (serat daun tanaman sejenis pandan) dan ijuk. Ada pula yang mengganti ijuk dengan bulu burung gagak.
Barong Ket ditarikan oleh dua orang penari yang disebut Juru Saluk atau Juru Bapang. Juru Bapang pertama menarikan bagian kepala, Juru Bapang yang lainnya di bagian ekor. Biasanya Barong Ket ditarikan berpasangan dengan Rangda, yaitu sosok seram yang melambangkan adharma (keburukan). Barong Ket sendiri dalam tarian tersebut melambangkan dharma (kebajikan). Pasangan Barong Ket dan Rangda melambangkan pertempuran abadi andara dua hal yang berlawanan (rwa bhineda) di semesta raya ini. Tari Barong Ket diiringi dengan gamelan Semar Pagulingan.

Barong Bangkal

adalah barong yang menyerupai babi dewasa. Di Bali, babi dewasa jantan dinamakan bangkal, sedangkan yang betina dinamakan bangkung. Itu sebabnya barong jenis ini disebut juga dengan Barong Bangkung. Biasanya Barong Bangkal dipentaskan dengan cara ngelelawang atau menari dari pintu ke pintu berkeliling desa pada saat perayaan hari raya Galungan-Kuningan. Barong ini ditarikan oleh dua orang penari dengan iringan gamelan batel/tetamburan.

Barong Landung

Miniatur Barong Landung "Jero Gede" di Museum Nasional
Barong Landung ditarikan oleh seorang. Ada sebuah lubang di bagian perut barong sebagai celah pandangan sang penari. Di beberapa tempat di Bali ada juga Barong Landung yang tak hanya sepasang. Barong-barong tersebut diberi peran seperti Mantri (raja), Galuh (permaisuri), Limbur (dayang) dan sebagainya. Musik pengiring tarian Barong Landung adalah gamelan Batel. Melihat Barong Landung, kamu mungkin teringat dengan Ondel-ondel. Ya, barong ini sangat mirip dengan tarian khas Betawi itu.

Barong Macan

Seperti namanya, barong ini menyerupai seekor Macan. Jenis barong ini cukup terkenal di kalangan masyarakat Bali. Pementasan barong ini sama dengan barong bangkal, yakni ngelawang berkeliling desa. Adakalanya pementasan barong ini dilengkapi dengan dramatari semacam Arja (opera tradisional Bali). Barong macan ditarikan oleh dua penari dengan iringan musik gamelan batel.

Barong Kedingling

Barong Kedingkling disebut juga Barong Blasblasan. Ada juga yang menyebutnya barong Nong nong Kling. Secara bentuk, barong jenis ini berbeda jauh dengan barong jenis lainnya. Barung ini lebih menyerupai kostum topeng yang masing-masing karakter ditarikan oleh seorang penari. Tokoh-tokoh dalam barong Kedingkling persis dengan tokoh-tokoh dalam Wayang Wong. Saat menari, cerita yang dibawakannya pun adalah lakon cuplikan dari cerita Ramayana terutama pada adegan perangnya. Pementasan barong kedingkling ini biasanya dilakukan dengan ngelawang dari rumah ke rumah berkeliling desa pada perayaan hari Raya Galungan dan Kuningan. Pertunjukan Barong Kedingkling diiringi dengan gamelan batel atau babonangan (gamelan batel yang dilengkapi dengan reyong). Barong Kedingkling banyak terdapat di daerah Gianyar, Bangli dan Klungkung.

Barong Gajah

Barong Gajah tentu saja menyerupai Gajah. Barong ini ditarikan oleh dua orang. Karena barong ini termasuk jenis yang langka dan dikeramatkan, masyarakat Bali pun jarang menjumpai barong jenis ini. Sekali waktu, pada saat-saat khusus, barong ini dipentaskannya secara ngelewang dari pintu ke pintu berkeliling desa dengan iringan gamelan batel atau tetamburan. Barong Gajah terdapat di daerah Gianyar, Tabanan, Badung dan Bangli.
sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Barong_Bali
Share:

tari serimpi



Tutup

Srimpi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sang penari sedang memperagakan tari serimpi.
Srimpi adalah bentuk repertoar (penyajian) tari Jawa klasik dari tradisi kraton Kesultanan Mataram dan dilanjutkan pelestarian serta pengembangan sampai sekarang oleh empat istana pewarisnya di Jawa Tengah (Surakarta) dan Yogyakarta[1][2].
Penyajian tari pentas ini dicirikan dengan empat penari melakukan gerak gemulai yang menggambarkan kesopanan, kehalusan budi, serta kelemahlembutan yang ditunjukkan dari gerakan yang pelan serta anggun dengan diiringi suara musik gamelan.[3][4] Srimpi dianggap mempunyai kemiripan posisi sosial dengan tari Pakarena dari Makasar, yakni dilihat dari segi kelembutan gerak para penari[5] dan sebagai tarian keraton.
Sejak dari zaman kuno, tari Serimpi sudah memiliki kedudukan yang istimewa di keraton-keraton Jawa dan tidak dapat disamakan dengan tari pentas yang lain karena sifatnya yang sakral.[6] Dulu tari ini hanya boleh dipentaskan oleh orang-orang yang dipilih keraton.[6] Serimpi memiliki tingkat kesakralan yang sama dengan pusaka atau benda-benda yang melambang kekuasaan raja yang berasal dari zaman Jawa Hindu, meskipun sifatnya tidak sesakral tari Bedhaya.[6][7][8]
Dalam pagelaran, tari serimpi tidak selalu memerlukan sesajen seperti pada tari Bedhaya, melainkan hanya di waktu-waktu tertentu saja.[7] Adapun iringan musik untuk tari Serimpi adalah mengutamakan paduan suara gabungan, yakni saat menyanyikan lagu tembang-tembang Jawa.[7]
Serimpi sendiri telah banyak mengalami perkembangan dari masa ke masa, di antaranya durasi waktu pementasan.[9] Kini salah satu kebudayaan yang berasal dari Jawa Tengah ini dikembangkan menjadi beberapa varian baru dengan durasi pertunjukan yang semakin singkat.[9] Sebagai contoh Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit dan juga Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit yang awal penyajiannya berdurasi kurang lebih 60 menit.[10]
Selain waktu pagelaran, tari ini juga mengalami perkembangan dari segi pakaian.[11] Pakaian penari yang awalnya adalah seperti pakaian yang dikenakan oleh pengantin putri keraton dengan dodotan dan gelung bokor sebagai hiasan kepala, saat ini kostum penari beralih menjadi pakaian tanpa lengan, serta gelung rambut yang berhiaskan bunga ceplok, dan hiasan kepala berupa bulu burung kasuari.[11][12]

Sejarah dan filosofi

Kemunculan tari Serimpi berawal dari masa kejayaan Kerajaan Mataram saat Sultan Agung memerintah pada tahun 1613-1646.[13] Tarian ini dianggap sakral karena hanya dipentaskan dalam lingkungan keraton untuk ritual kenegaraan sampai peringatan kenaikan tahta sultan.[13] Pada tahun 1775 Kerajaan Mataram pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.[13] Perpecahan ini berimbas pada tari Serimpi sehingga terjadi perbedaan gerakan, walaupun inti dari tariannya masih sama.[13] Tari ini muncul di lingkungan keraton Surakarta sekitar tahun 1788-1820.[9] Dan mulai tahun 1920-an dan seterusnya, latihan tari klasik ini dimasukkan ke dalam mata pelajaran Taman-taman siswa Yogyakarta dan dalam perkumpulan tari serta karawitan Krida Beksa Wirama.[7] Setelah Indonesia merdeka, tari ini kemudian juga diajarkan di akademi-akademi seni tari dan karawitan pemerintah, baik di Solo maupun di Yogyakarta.[7]
Awalnya tari ini bernama Srimpi Sangopati yang merujuk pada suatu pengertian, yakni calon pengganti raja.[14] Namun, Serimpi sendiri juga mempunyai arti perempuan.[15] Pendapat yang lain, menurut Dr. Priyono, nama serimpi dapat dikaitkan ke akar kata “impi” atau mimpi.[13] Maksudnya adalah ketika menyaksikan tarian lemah gemulai sepanjang 3/4 hingga 1 jam itu, para penonton seperti dibawa ke alam lain, yakni alam mimpi.[13]
Mahabarata, salah satu kisah yang diabadikan dalam tari Serimpi.
Kemudian terkait dengan komposisinya, menurut Kanjeng Brongtodiningrat, komposisi penari Serimpi melambangkan empat mata angin atau empat unsur dari dunia yakni: Grama ( api), Angin ( udara), Toya (air), Bumi ( tanah).[9][13][16] Komposisinya yang terdiri dari empat orang tersebut membentuk segi empat yang melambangkan tiang pendopo.[13] Adapun yang digambarkan dalam pagelaran tari serimpi adalah perangnya pahlawan-pahlawan dalam cerita Menak, Purwa, Mahabarata, Ramayana, sejarah Jawa dan yang lain atau dapat juga dikatakan sebagai tarian yang mengisahkan pertempuran yang dilambangkan dalam dua kubu (satu kubu berarti terdiri dari dua penari) yang terlibat dalam suatu peperangan.[15][16][17] Tema yang ditampilkan pada tari Serimpi sebenarnya sama dengan tema pada tari Bedhaya Sanga, yaitu menggambarkan pertikaian antara dua Hal. yang bertentangan antara baik dan buruk, antara benar dan salah, serta antara akal manusia dan nafsunya.[13] Keempat penarinya biasanya berperan sebagai Batak, Gulu, Dhada dan Buncit.[9]
Sri Sultan Hamengkubuwana VII, penggagas tari Serimpi bersenjatakan pistol.
Tema perang dalam tari Serimpi menurut Raden Mas Wisnu Wardhana, merupakan penggambaran falsafah hidup ketimuran.[13] Peperangan dalam tari Serimpi merupakan simbol pertarungan yang tak kunjung habis antara kebaikan dan kejahatan.[13] Bahkan tari Serimpi dalam mengekspresikan gerakan tari perang terlihat lebih jelas karena dilakukan dengan gerakan yang sama dari dua pasang prajurit melawan prajurit yang lain dengan bantuan properti tari berupa senjata.[13] Senjata yang digunakan dalam tari ini, antara lain berupa keris kecil atau cundrik, jembeng (semacam perisak), dan tombak pendek.[13] Pada zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII, yaitu pada abad ke-19, ada pula tari Serimpi yang senjatanya berupa pistol yang ditembakkan ke arah bawah.[11]
Pertunjukkan tari asal Jawa Tengah ini biasanya berada di awal acara karena berfungsi sebagai tari pembuka, selain itu, tari ini terkadang juga ditampilkan ketika ada pementasan wayang orang.[15][18] Sampai sekarang tari Serimpi masih dianggap sebagai seni yang adhiluhung serta merupakan pusaka keraton.[13]

Jenis-jenis

Berkas:Serimpi Ronggowati.png
Pagelaran Tari Serimpi Renggawati
Tarian Serimpi di Kesultanan Yogyakarta digolongkan menjadi Serimpi Babul Layar, Serimpi Dhempel, dan Serimpi Genjung.[13][19] Untuk Kesultanan Surakarta, Serimpi digolongkan menjadi Serimpi Anglir Mendung dan Serimpi Bondan.[13] Salah satu jenis tari Serimpi yang lain adalah Serimpi Renggawati yang dipentaskann oleh lima orang, yakni empat penari ditambah dengan satu penari sebagai putri Renggawati.[17] Adapun kisah yang diceritakan adalah kisah Angling Dharma, seorang putra mahkota yang masih muda dan terkena kutukan menjadi burung Mliwis.[17] Dia akan dapat kembali ke wujud semula jika badannya tersentuh oleh tangan seorang putri cantik jelita (putri Renggawati).[17] Semua peristiwa ini dicerminkan dalam tari-tarian yang digelar oleh para penari serimpi Renggawati yang diakhiri dengan sebuah kebahagiaan.[17]
Di luar tembok keraton, ada tari Serimpi yang juga ditarikan oleh lima penari, yakni Serimpi Lima.[8] Tari ini berkembang di wilayah pedesaan, yakni di tengah-tengah masyarakat desa Ngadireso, kecamatan Poncokusumo, kabupaten Malang, Jawa Timur.[8] Di desa Ngadireso, Serimpi akan digelar saat ada upacara ruwatan, yakni suatu proses pembersihan diri yang bertujuan untuk menghilangkan nasib buruk serta aura negatif dalam diri seseorang yang dilakukan dengan cara tertentu.[20][21] Adapun ruwatan yang dilakukan adalah ruwatan murwakala, yakni ruwatan yang dilakukan untuk menyelamatkan atau melindungi seseorang yang diyakini akan menjadi mangsa atau makananan Bethara Kala.[8] Meskipun begitu, Serimpi ini bertemakan kegembiraan, erotik, dan sakral.[22] Serimpi Lima merupakan wujud dari gagasan dan aktivitas masyarakat pemiliknya.[22] Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosio-kultural karena dalam lingkungan etnik, perilaku mempunyai wewenang yang amat besar dalam menentukan keberadaan kesenian termasuk tari tradisional.[22]
Berkas:Serimpi Ludiramadu.png
Pagelaran Tari Serimpi Ludiramadu
Bentuk serimpi tertua menurut sumber tertulis, diciptakan oleh Sri Pakubuwana V pada tahun Jawa 1748 atau sekitar tahun 1820-1823, yakni Serimpi Ludiramadu.[2] Tari ini diciptakan olehnya untuk mengenang ibunya yang berdarah Madura.[23] Untuk bentuk terbaru serimpi adalah Serimpi Pondelori, gubahan para guru perkumpulan tari Yogyakarta, kemudian ada Among Beksa yang dipentaskan oleh delapan orang penari dengan mengambil tema Menak.[2]
Berkas:Serimpi Pondelorii.png
Pagelaran Tari Serimpi Pondelori
Serimpi Pondelori sendiri adalah suatu bentuk tari Serimpi khas Yogyakarta yang dipentaskan oleh empat orang.[14] Isinya adalah sebuah pertengkaran antara Dewi Sirtupilaeli dan Dewi Sudarawerti yang memperebutkan cinta dari Wong Agung Jayengrana, pangeran dari negeri Arab.[14]. Di akhir cerita tidak terjadi kekalahan maupun kemenangan karena dua kubu yang berseteru akhirnya semua dinikahi oleh pangeran.[14]
Kemudian ada tari Serimpi Tiongkok.[14] Yang membedakan dari tari ini adalah penarinya mengenakan baju khas orang Tionghoa.[14] Biasanya tari yang satu ini dibawakan di Istana Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Selanjutnya adalah tari Serimpi Pamugrari, dinamakan seperti itu karena musik pengiringnya menggunakan gending pramugari Untuk senjata yang dibawa saat menari adalah pistol.

 sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Srimpi
Share:

About Author

Diberdayakan oleh Blogger.

Comments

Facebook

Ad Home

Magazine

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Latest Post

Popular Posts

Recent Posts

Flag Counter

Unordered List

Hetalia: Axis Powers - Taiwan

Definition List

Pages